Koenci.com, JAKARTA – Sebanyak 1.160 anak usia di bawah 11 tahun melakukan transaksi judi online (judol). Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, praktik itu berlangsung sepanjang tahun 2024.

“Dari temuan dan catatan PPATK, itu data anak bertransaksi judol berdasarkan usia. Mencapai Rp3 miliar lebih, frekuensi transaksi 22 ribu,” kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, dalam pesan singkat kepada Koenci.com, Sabtu (3/8/2024).

Tak cukup itu. PPATK juga menemukan rentang usia 11-16 tahun, ada 4.514 anak transaksi judol. Angka transaksi menembus Rp7,9 miliar.Ivan menegaskan, paling banyak populasi usia 17-19 tahun.

Angkanya 191.380 orang, transaksi mencapai Rp282 miliar.Lalu, usia kurang dari 11-19 tahun, terdapat 197.054 transaksi judol. Total deposit mencapai Rp293,4 miliar.

Berdasarkan wilayah sebaran, Provinsi Jawa Barat berada di posisi puncak. Ada 41 ribu anak yang melakukan judol dengan transaksi Rp49,8 miliar.

Sebelumnya, Menkopolhukam Hadi Tjahjanto, mengungkap ada 80 ribu anak usia di bawah 10 tahun jadi pemain judol.

PPATK mencatat, ada 168 juta transaksi judol dengan total akumulasi perputaran dana mencapai Rp 327 triliun sepanjang 2023.

Total, akumulasi perputaran dana transaksi judol menembus Rp 517 triliun sejak 2017. Korban di masyarakat tak hanya orang tua namun anak.

Berdasarkan data demografi, pemain judol merupakan usia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen dari pemain, dengan total 80.000. Sebaran pemain rentang usia 10-20 tahun sebanyak 11 persen, atau kurang lebih 440.000 orang.

Lalu, usia 21-30 tahun 13 persen, atau 520.000 orang. Usia 30-50 tahun sebesar 40 persen, atau 1.640.000 orang. Serta usia di atas 50 tahun sebanyak 34 persen dengan 1.350.000 orang.

Secara umum, kata Ivan, UU TPPU yang melibatkan anak sulit untuk diperoleh secara spesifik.

“Karena kejahatan semacam ini seringkali tersembunyi dan sulit dideteksi,” tukas Ivan.

Namun, lanjutnya, beberapa contoh dapat dikenali melalui berikut.

“Misalnya, anak-anak yang dimanfaatkan untuk membuka rekening bank palsu atau untuk transfer uang dalam skala besar yang mencurigakan,” jawabnya.

Selain itu, kata Ivan, anak-anak juga bisa dimanfaatkan. Misalnya, untuk tujuan komersial seperti prostitusi atau kerja paksa.

“Uang yang dihasilkan dari aktivitas ini sering dicuci melalui transaksi finansial yang rumit,” urainya.

Tak hanya itu. Anak-anak dapat direkrut oleh organisasi kriminal untuk melakukan kegiatan seperti pembelian properti atau barang mewah dengan uang hasil kejahatan.

“Ini sering dilakukan untuk menyamarkan asal-usul uang itu. Sementara, penggunaan internet dikalangan anak sangat tinggi,” paparnya.

Maka itu, PPATK menggandeng KPAI guna mendorong percepatan dan efektivitas perlindungan anak di ranah daring.

“Dengan memastikan, tak adanya tindak kejahatan TPPU yang melibatkan anak. Lalu, membangun akselerasi koordinasi, sinergi dan implementasi dugaan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dengan aparat hukum,” jelasnya. (R004)

Shares:

Tinggalkan Balasan