Koenci.com mempersembahkan tulisan dari jurnalis Nazar Ray. Nazar Ray yang dikenal dengan Nazar Akagi ini adalah seorang penulis handal. Di sini ia menceritakan Belajar Hidup.
Ini kisah Nazar Ray dari Jepang.
Saya bukan orang yang punya segalanya. Bahkan, pekerjaan saya saat itu hanyalah paruh waktu di sebuah perusahaan agrobisnis di negeri Timur Jauh—Jepang. Tapi justru dari keterbatasan itu, saya mendapat pelajaran paling berharga tentang hidup dan tentang diri sendiri.
Sang pemilik perusahaan, Watanabe-san, memberi saya kesempatan untuk belajar dan bekerja. Meski hanya beberapa bulan, beliau berkata dengan penuh kepercayaan:
*“Kapan pun kamu datang, kami akan menyambutmu. Selesaikan pekerjaan rumahmu lebih dulu, perdalam bahasa kami.”*
Kalimat itu sederhana, tapi mengandung harapan besar. Saya bukan hanya diberi pekerjaan, tapi juga kepercayaan. Kepercayaan bahwa saya mampu bertumbuh dan kembali lebih kuat. Saya pulang, membawa serta misi: memperdalam kemampuan bahasa, memperbaiki diri, dan memantapkan tujuan.
Selama waktu singkat di sana, saya belajar banyak—lebih dari yang bisa diajarkan oleh ruang kelas manapun. Negeri ini mengajarkan saya filosofi hidup yang begitu dalam:
*“Apapun masalahmu, selesaikan sendiri sampai kamu menemukan jalan keluarnya.”*
Benar, saya beberapa kali menghadapi masalah kerja yang bikin stress bukan kepalang. Tidak ada ruang untuk bertanya kepada rekan lain. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, saya harus menjadi problem solving di manapun dan kapanpun.
Kedengarannya keras, bahkan dingin. Tapi di balik itu, ada latihan untuk berpikir tajam dan bertanggung jawab penuh atas kehidupan sendiri. Tidak ada ruang untuk menyalahkan keadaan, apalagi orang lain. Hidup memang tidak pernah ideal, tapi menyerah bukan pilihan.
*Hidup Tidak Sekadar Sukses*
Banyak orang mendoakan: “Semoga sukses.” Itu indah, tentu saja. Tapi di balik semua itu, saya mulai menyadari bahwa lebih penting dari sekadar sukses adalah *hidup yang layak dan dihargai sebagai manusia.*
Zaman sekarang, begitu banyak manusia menilai seseorang dari harta, fisik, usia, bahkan gaya hidup. Semua jadi dangkal. Mereka yang memilih jalan pintas demi kekayaan instan pun kerap dianggap ‘berhasil’. Padahal di balik glamornya hedonisme, seringkali tak ada kedamaian.
Dihargai bukan karena status, tapi karena karakter dan prinsip—itulah yang jauh lebih bernilai.
*Budaya Harmoni: Tidak Menjatuhkan, Tidak Mengeluh*
Satu hal lain yang membekas kuat dalam hati saya adalah cara mereka menjaga harmoni sosial. Tidak ada sikap saling menjatuhkan. Tidak ada adu sindir, fitnah, apalagi menjegal satu sama lain. Rasa iri tentu ada di mana-mana, tapi di sini, rasa iri itu diubah menjadi motivasi dan energi positif. “Kalau orang lain bisa, aku juga harus bisa.”

Mereka tidak membuang waktu dengan mengeluh atau mencurahkan isi hati kepada siapa saja. Bahkan sahabat Jepang saya, Yoshitaka dan Kazuo, secara halus menolak ketika saya curhat panjang lebar tentang masalah pribadi. Dengan nada tenang mereka berkata:
*“Maaf sekali, itu masalah anda, saya tidak mau ikut campur terlalu jauh. Anda yang tahu asalnya, dan anda pula yang harus menemukan solusinya. Terlalu banyak pihak yang terlibat hanya akan membuat anda bingung.”*
Tegas. Tapi jujur dan masuk akal. Saya belajar, bahwa tidak semua keluh kesah butuh telinga. Kadang yang kita butuhkan hanyalah keheningan—dan keberanian untuk melihat ke dalam diri sendiri.
*Percaya pada Diri Sendiri*
Kita sering meremehkan potensi diri sendiri, hingga datanglah masalah besar yang memaksa kita berpikir, bergerak, dan bertindak. Di situlah potensi sejati mulai muncul ke permukaan.
Saya percaya, setiap orang punya kekuatan tersembunyi yang hanya bisa muncul ketika keadaan mendesak. Saat tidak ada lagi tempat bergantung, saat kita benar-benar diuji, saat itulah kekuatan lahir.
Dan saat kita sudah menemukan kekuatan itu, *kita tidak akan kembali jadi pribadi yang sama*.
Kesimpulannya, hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai garis akhir. Tapi siapa yang paling setia menapaki prosesnya, dengan kepala tegak, hati bersih, dan pikiran jernih.
Jika Anda sedang dalam masa sulit, ingatlah:
Anda mungkin hanya selangkah lagi dari menemukan versi terbaik dari diri Anda sendiri. Jangan takut gagal. Jangan takut sendiri. Jangan takut dianggap kecil. Yang penting, terus melangkah, dan terus percaya pada harga diri dan potensi Anda.
Karena hidup yang layak dan bermartabat, jauh lebih berarti daripada semua pujian kosong yang tak pernah tulus.
*Menjejak Harap di Tanah yang Baru*
Langkah berikutnya yang tak kalah berat – dan jika Tuhan mengijinkan — adalah menjejak harap di tanah atau benua milik orang-orang bermata biru dan berambut pirang.
Satu lagi jalan panjang yang tidak mudah diselami oleh orang biasa. Namun bagi yang percaya bahwa keberanian dan kerja keras tidak mengenal batas geografis, perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat—tapi penempaan jiwa.
Ini adalah panggilan untuk terus melangkah, meski tertatih, menuju kehidupan yang tidak lebih mudah, tapi lebih bermakna.
Nantikan kisah Nazar Akagi berikutnya.









